Teknologi Digital dan Panggung Politik
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi resmi berlaku sejak Senin (28/11/2016). Inisiatif ini perlu diapresiasi dan didukung oleh semua pihak karena teknologi digital memiliki dampak dan implikasi yang luas. Maka menjadi sebuah keniscayaan untuk meregulasi teknologi digital agar penggunaan dan pemanfaatannya tetap berada dalam koridor yang benar.
Di bidang politik, dampak dan implikasi teknologi digital bisa sangat luas dan kompleks. Dari sisi panggung politik, kita harus memaklumi bahwa panggung politik sejatinya adalah panggung teatrikal. Setiap karakter selalu berusaha menjaga dan memelihara citranya, terutama di mata publik. Mulai dari gaya berbusana, cara berbicara, penggunaan dan pemilihan kata, semuanya disusun dengan estetika yang termanifestasi dalam penampilan di atas panggung.
Filsuf Jerman, Hannah Arendt, mengatakan bahwa “the realm of appearances is the realm of politics.” Kita tidak akan bisa benar-benar menelanjangi para politisi karena sejatinya apa yang ada di dalam dan apa yang dikenakan di luar adalah sama. Gagasan tentang penampilan adalah gagasan tentang realita yang terlihat dan terdengar oleh orang lain, termasuk kita.
Konsep ini sebenarnya sudah mendarah daging dalam masyarakat kita. Di masa Yunani Kuno, politik berarti kesempatan untuk memasuki Agora. Di dalam Agora, seseorang dapat berbicara dan menyampaikan gagasannya di hadapan banyak orang. Pada konteks demikian ini, mereka akan dinilai berdasar kata-kata, retorika, dan performa di atas panggung. Dengan kata lain, kehidupan politik seseorang identik dengan bagaimana ia tampil dan mencitrakan dirinya sebagaimana seorang aktor.
Ketika kita berbicara tentang penampilan (appearance), kita harus mafhum bahwa ia bisa mengelabui (deceptive) dan tidak dapat selalu diandalkan (unreliable). Frank Underwood, dalam House of Cards, menyatakan dengan elegan, “We are nothing more or less than what we choose to reveal.” Apa yang seorang aktor politik tampilkan di hadapan Anda tidak sama dengan apa yang ia tampilkan di hadapan saya. Apa yang ia tontonkan di depan konstituennya tidak sama dengan apa yang ia tunjukkan di hadapan koleganya.
Terkait dengan teknologi digital, ia sangat berbeda dari teknologi konvensional. Dua karakter utama yang melekat di dalamnya adalah kekayaan (richness) dan ada di mana-mana (ubiquity). Sifatnya yang kaya membuat teknologi digital bisa mentransmisikan informasi tidak hanya dalam bentuk teks, tetapi juga foto, video, musik, bahkan secara interaktif. Adapun sifatnya yang ada di mana-mana membuat informasi tentang aktor politik maupun sepak terjangnya dapat diakses dari mana saja, kapan saja, melalui piranti apa saja.
Imbasnya, teknologi digital membuat eskalasi drama dalam panggung politik menjadi lebih intens. Seperti halnya sinetron kejar tayang, penikmat politik juga makin menggemari munculnya konflik, intrik, ketegangan yang mencapai klimaks, hingga akhir cerita yang bahagia. Teknologi digital memungkinkan aktor politik untuk memanufaktur drama yang ia lakonkan sedemikian hingga politik menjadi semakin berfokus pada kemasan penampilan daripada konten materi maupun pesan ideologi.
Dari sisi aktor/pelaku, paham konvensional menjelaskan bahwa masyarakat berasumsi politisi dan pembuat kebijakan akan menjadi seorang “pelayan publik” yang akan berusaha memenuhi “kepentingan publik” dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, kepentingan publik akan selalu berada di atas kepentingan pribadi seorang politisi dan pembuat kebijakan. Tak jarang, aktor politik yang kita idolakan dianggap sebagai “dewa” yang dipercaya bertindak dan berperilaku berbeda dengan kita.
Teori public choice (Buchanan & Tullock, 1962) tidak sepakat dengan argumen tersebut. Teori ini menyatakan bahwa perilaku individu secara ekonomik akan berusaha memaksimumkan utilitasnya (utility maximisation). Politisi dan pembuat kebijakan sama seperti kita orang kebanyakan yang memiliki kepentingan pribadi (self-interest) masing-masing. Pendek kata, teori public choice adalah cerminan aktor yang rasional dari kacamata ekonomi yang ditransfer ke ranah politik.
Sejalan dengan teori public choice, pembuat kebijakan juga akan cenderung “termakan” (capture) oleh industri dan bisnis yang diregulasinya. Teori regulatory capture (Stigler, 1971) menyatakan bahwa pembuat kebijakan pada akhirnya akan ditelan oleh kepentingan industri. Ia tidak akan lagi berpihak kepada publik melainkan didominasi oleh bisnis dan industri yang seharusnya ia regulasi.
Proses capture ini dapat bersifat material atau disebut juga financial capture. Motif dari proses ini adalah kepentingan yang bersifat materialistik. Bentuknya dapat berupa suap, donasi politik, keinginan untuk memelihara pendanaan, maupun “pintu berputar” (revolving door) yang biasanya berujung pada korupsi politik. Proses capture juga dapat bersifat non-material atau disebut cognitive capture. Dalam hal ini, pembuat kebijakan mulai berpikir layaknya industri yang ia regulasi. Ini adalah hasil dari proses lobi yang dilakukan kelompok kepentingan.
Selain membuat drama menjadi intens, teknologi digital juga akan membuat kita (masyarakat awam) mengabaikan konsep public choice. Karena sifat teknologi digital yang kaya dan ada di mana-mana, seorang aktor politik yang oportunis dapat mencitrakan dirinya menjadi lebih “dewa” dan mulia dibanding sebelumnya–bahkan lebih hebat dibandingkan Soekarno, Hatta, atau Sjahrir. Kita lupa bahwa para aktor politik tersebut adalah manusia biasa seperti kita juga.
Teknologi digital juga akan mendilusi proses capture. Seorang aktor politik yang oportunis akan dengan mudah memfabrikasi citra politiknya sesuai kepentingannya. Pada titik ini, apa yang disampaikan oleh aktor politik dan media menjadi komoditas berharga sebagaimana informasi yang beredar di pasar bursa. Politik menjadi semakin dangkal (surface) dan realita menjadi semakin tersamarkan. Proses capture akan makin kencang namun makin tidak bisa kita deteksi.
Adanya UU ITE memang membantu kita untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan teknologi digital. UU ITE juga memberi batasan akan penyadapan, bukti elektronik, maupun penghapusan jejak digital. Namun, UU ITE saja belum mampu melindungi kita dari aktor-aktor politik yang oportunis. Alih-alih memanfaatkan teknologi digital untuk pemberdayaan dan pengawasan program politik, pemahaman kita sebagai masyarakat awam belum mampu mencapainya. Untuk sampai pada titik tersebut, sayangnya kita masih butuh proses edukasi yang panjang dan pendewasaan yang matang.