Trias Politica: Premanisme, Proyekisme, dan Priyayisme
Sepanjang sejarah bangsa ini -– dari era kerajaan Hindu-Buddha, masa Islam, kolonialisme Belanda, hingga pasca-reformasi modern –- terdapat pola-pola perilaku dan mentalitas yang saya duga menjadi akar permasalahan bangsa. Di antaranya, tiga fenomena kunci yang sering disebut adalah premanisme, proyekisme, dan priyayisme.
Premanisme adalah kecenderungan aktor informal (preman) untuk menuntut jatah kekuasaan atau keuntungan ekonomi tanpa kontribusi produktif, sering melalui kekerasan atau ancaman. Contoh sehari-harinya adalah praktik pungli oleh tukang parkir liar atau kelompok yang memaksakan perlindungan dengan imbalan uang. Fenomena premanisme mencakup organisasi kriminal jalanan hingga kolusi antara aparat dan kriminal?.
Sementara itu, proyekisme budaya menjadikan setiap program atau solusi sebagai “proyek” demi mendapatkan anggaran, komisi, atau fee tertentu, alih-alih mencari solusi jangka panjang. Inisiatif yang diubah menjadi proyek sering kali berorientasi jangka pendek, demi laporan dan pencairan dana, bukan penyelesaian substansial. Akibat budaya proyek ini, marak tradisi kick back (imbalan dari rekanan), mark up anggaran, perjalanan dinas fiktif, dan ketergantungan pada dana pemerintah daripada swadaya masyarakat?.
Satu lagi, priyayisme adalah mentalitas feodal peninggalan struktur kerajaan dan kolonial, yakni keinginan menjadi pejabat yang dilayani bak bangsawan, bukan pelayan publik. Mentalitas priyayi membuat pejabat merasa superior dan menuntut privilese, loyalitas bawahan, serta enggan berbaur dengan rakyat. Nilai-nilai ini berakar dari budaya kelas priyayi (elit birokrat Jawa zaman kolonial) yang menekankan hierarki, harmoni, dan loyalitas absolut pada atasan?. Akibatnya, aparatur sipil negara (ASN) cenderung lebih fokus melayani pimpinan (penguasa) daripada masyarakat?.
***
Premanisme: Kekuasaan Informal dan Kekerasan Terorganisir
Fenomena premanisme di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang. Sejak masa pra-kolonial, di masyarakat Jawa dan daerah lain telah muncul figur-figur jagoan lokal -– semisal jago, warok, jawara -– yang berperan layaknya “strongmen” tradisional. Para jago (secara harfiah berarti “ayam jantan” dalam bahasa Jawa) adalah semacam pendekar atau preman lokal yang kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan dan perkotaan. Dalam budaya populer, sosok jago kadang digambarkan sebagai “champion” rakyat kecil yang menggunakan kekuatan untuk menegakkan keadilan versi mereka sendiri?. Namun, pada praktiknya mereka juga terlibat dalam kekerasan dan pemerasan demi kepentingan pribadi atau tuannya.
Pada era kerajaan tradisional hingga kolonial, para preman awal ini berperan ambigu. Di satu sisi, mereka dikenal sebagai begal atau perampok (brigandage), namun di sisi lain sering dimanfaatkan penguasa sebagai tukang pukul untuk menjaga “ketertiban”?. Sejarah mencatat bahwa sindikat kejahatan di Nusantara sudah muncul setua Kerajaan Mataram, di mana kekuasaan negara kadang berkompromi dengan kelompok kriminal demi stabilitas?. Misalnya, jawara di Banten abad 19 atau jago di pedesaan Jawa berfungsi semacam preman bayaran bagi tuan tanah atau pejabat lokal: mereka menagih pajak atau upeti dengan paksa, dan sebagai imbalan dibiarkan leluasa menjalankan aktivitas ilegal.
Masa pergerakan dan revolusi kemerdekaan (1945–1949) memberi peran politik lebih menonjol kepada kaum preman. Para jagoan dan jawara banyak direkrut ke dalam laskar pejuang maupun milisi partai. Mereka memiliki keterampilan bertarung dan keberanian yang dibutuhkan di masa revolusi?. Contohnya, organisasi seperti Laskar Pemuda Sosialis Indonesia di Jakarta merekrut para jago pasar dan preman untuk melawan tentara Belanda, karena hanya merekalah yang punya pengalaman kekerasan dan tak gentar menghadapi aparat kolonial?. Peran preman sebagai “otoritas bayangan” ini penting dalam konsolidasi kekuasaan lokal selama revolusi?. Akan tetapi, setelah kemerdekaan, mereka tidak serta-merta hilang; banyak yang bertransformasi menjadi aparat keamanan informal atau bergabung dalam partai politik tertentu.
Orde Baru (1966–1998) di bawah Suharto justru menginstitusikan premanisme ke dalam struktur negara. Istilah “preman” sendiri berasal dari serapan bahasa Belanda vrijman (orang bebas)?, yang pada akhir Orde Baru mengandung makna ganda: preman sebagai penjahat jalanan, sekaligus julukan bagi oknum aparat (polisi/ tentara) tak berseragam yang bertindak laiknya kriminal?. Rezim Orde Baru dikenal kerap menggunakan kelompok preman atau ormas pemuda untuk melakukan pekerjaan kotor (dirty work): mengintimidasi lawan politik, membubarkan demonstrasi, hingga kekerasan terhadap aktivis?.
Kelompok seperti Pemuda Pancasila dan berbagai organisasi kepemudaan “pendukung pemerintah” menjamur dan mendapat backing militer. Preman politik ini bertindak bak tentara bayangan; kekebalan hukum mereka terjamin selama loyal pada penguasa?. Hubungan simbiosis ini membuat batas antara aparat negara dan preman nyaris hilang di masa itu –- hingga muncul ungkapan, “Jika pejabat dan tentara ternyata bermental preman, maka preman pun berlaku layaknya pejabat dan tentara.” Suharto memerintah melalui jaringan patronase hingga tingkat paling bawah, termasuk memanfaatkan preman sebagai “kapiler” kekuasaan yang menakut-nakuti masyarakat?.
Menurut Tim Lindsey, Orde Baru pada hakikatnya membangun sebuah “negara preman” (preman state). Negara dijalankan bukan terutama dengan hukum dan birokrasi melainkan melalui logika preman: pejabat negara memperlakukan wilayah kekuasaannya seperti lahan garapan preman yang bisa dipalak seenaknya?. Fungsi negara sebagai pengatur keadilan sosial hampir absen; yang ada justru aparat yang menghisap sumber daya publik untuk keuntungan pribadi dengan impunitas hukum?. Lindsey berargumen bahwa Indonesia sejak awal kemerdekaan “ketinggalan kereta” dalam membangun kontrak sosial modern -– para pendiri bangsa lebih menekankan negara sebagai simbol identitas dan persatuan, ketimbang merancang mekanisme kontrol agar negara melayani rakyat?.
Akibatnya, institusi hukum (seperti pengadilan) lemah mengawasi kekuasaan, membuka ruang luas bagi kolusi antara aparat dan kriminal. Premanisme pun merajalela: pejabat publik tinggi hingga petugas rendahan terlibat praktek layaknya preman memungut upeti, sementara para preman asli merasa dilindungi kekuasaan. Sebuah studi mencatat bahwa kekuatan preman sebenarnya bukan sekadar pada otot atau kekerasannya, tapi pada jaminan backing politik yang membuatnya kebal hukum?.
Pada era Reformasi (pasca-1998), premanisme bukannya lenyap, malah beradaptasi. Hilangnya kontrol terpusat Orde Baru memecah jaringan preman menjadi faksi-faksi lokal yang berafiliasi dengan politisi, ormas, atau penguasa daerah. Banyak organisasi massa bermunculan –- beberapa berbasis etnis atau agama -– yang sebagian anggotanya berperilaku preman. Contoh nyata adalah fenomena kelompok “pemuda” di berbagai daerah (seperti Forum Betawi Rempug di Jakarta, Laskar tertentu, dll.) yang mengambil alih lahan parkir, terminal, keamanan kampung, dengan dalih ormas?. Mereka kadang digunakan politisi lokal untuk menggalang dukungan atau menekan lawan dalam kontestasi Pilkada.
Dengan demokratisasi, preman juga memasuki politik formal: sejumlah eks-preman atau pimpinan ormas berpengaruh berhasil menduduki kursi legislatif atau jabatan pemerintahan. Walhasil, premanisme kian menyatu dengan oligarki politik dan ekonomi. Kegiatan ekonomi informal di perkotaan -– seperti parkir liar, keamanan pasar, angkutan -– masih menjadi lahan subur preman hingga kini, yang berlangsung dengan toleransi (atau kolusi) aparat setempat.
Dus, tampak bahwa premanisme mengakar dalam struktur sosial-politik Indonesia. Ia bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi seringkali terkait erat dengan patronase kekuasaan. Preman bertahan karena ada ekosistem yang mendukungnya: budaya impunitas, kebutuhan elit akan kaki tangan informal, lemahnya penegakan hukum, dan ekonomi yang belum sepenuhnya inklusif (masih banyak pengangguran yang akhirnya menjadi preman). Premanisme berkontribusi langsung terhadap maraknya korupsi dan kekerasan, karena para pelaku di luar maupun di dalam pemerintahan cenderung bertindak di atas hukum demi rente pribadi.
***
Proyekisme: Budaya Proyek dan Orientasi Jangka Pendek
Jika premanisme tumbuh dari budaya kekuasaan informal dan kekerasan, proyekisme bersumber dari budaya birokrasi pembangunan yang menyimpang. Istilah “proyekisme” merujuk pada mentalitas proyek -– kecenderungan ketika pemerintah, lembaga, hingga masyarakat, melihat suatu inisiatif terutama sebagai ajang memperoleh anggaran (duit proyek), bukan menyelesaikan persoalan secara tuntas. Budaya ini mulai mengemuka seiring dengan program-program pembangunan nasional sejak Orde Lama dan Orde Baru, dan terus berlanjut hingga era otonomi daerah pasca-reformasi.
Secara historis, Orde Baru (1966-1998) sangat identik dengan developmentalisme, yaitu pembangunan ekonomi terencana lewat Proyek Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan berbagai program pemerintah. Setiap kementerian dan dinas berlomba mendapatkan alokasi proyek -– mulai dari proyek infrastruktur fisik (jalan, jembatan, gedung) hingga proyek sosial (penataran P4, penyuluhan pertanian, dll.). Namun, paradigma pembangunan pada masa itu cenderung top-down dan input-oriented, dengan keberhasilan diukur dari terserapnya anggaran dan terlihatnya output fisik jangka pendek. Pola ini menanamkan mentalitas proyek di kalangan birokrat maupun kontraktor swasta: yang penting proyeknya ada dan dananya cair, masalah beres atau tidak belakangan. Contohnya dapat dilihat pada banyaknya proyek mercusuar di akhir Orde Lama dan Orde Baru yang mangkrak atau tidak berkelanjutan (seperti proyek mobil nasional, berbagai monumen, pabrik strategis yang akhirnya tutup, dll.).
Ciri utama proyekisme adalah orientasi jangka pendek dan pragmatisme sempit. Karena fokus pada proyek per proyek, sering kali tidak ada kelanjutan setelah proyek selesai dan dana habis. Inisiatif swadaya masyarakat atau gotong royong terpinggirkan, tergantikan oleh pola “menunggu proyek pemerintah”. Masyarakat pun terdorong berpikir, tanpa kucuran dana resmi tak bakal ada aksi. Pada gilirannya, hal ini melemahkan inisiatif lokal dan keberlanjutan program. Sebuah kajian mengkritik bahwa proyekisme menyebabkan absennya exit strategy atau pemeliharaan jangka panjang: misalnya, pembangunan irigasi atau gedung tanpa rencana perawatan berujung fasilitas rusak setelah beberapa tahun karena tidak ada lagi anggaran proyek?.
Lebih parah lagi, proyekisme subur bersamaan dengan korupsi anggaran. Dalam budaya proyek, gaji atau tunjangan resmi dianggap kurang, sehingga proyek dijadikan ladang mencari tambahan. Mantan pejabat Mohamad Sohibul Iman menggambarkan, PNS sering merasa gaji bulanan adalah hak yang sudah seharusnya diterima, sedangkan proyek dianggap “kerjaan ekstra” yang mesti mendatangkan imbalan tambahan?. Pola pikir ini mendorong praktik seperti: meminta komisi dari rekanan kontraktor, menaikkan harga (mark-up) dalam RAB, membuat laporan perjalanan dinas fiktif demi mengambil sisa anggaran, hingga meminta jamuan istimewa dari instansi yang dikunjungi supaya uang saku dinas bisa disimpan utuh?. Tradisi “kickback” sudah dianggap lumrah –- kontraktor pemenang proyek biasanya menyetor sejumlah persen nilai proyek kembali ke oknum pemberi proyek sebagai fee. Data menunjukkan praktik semacam ini merata di lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif?.
Budaya proyek juga membentuk siklus ketergantungan. Banyak pemerintah daerah lebih bersemangat menjalankan proyek berbasis dana pusat (APBN) atau utang luar negeri, ketimbang program pemberdayaan berbiaya rendah. Ini karena proyek dana besar membuka peluang fee besar pula, dan secara politis bisa dijual sebagai pencapaian kepala daerah. Akibatnya, solusi yang mungkin sebenarnya sederhana justru diproyekkan agar terlihat monumental. Misal, untuk mengurangi banjir cukup memperbaiki drainase dan pola buang sampah, tapi itu dianggap bukan “proyek” bernilai, sehingga lebih menarik membuat proyek normalisasi sungai bernilai miliaran. Dalam jangka panjang, paradigma ini merugikan negara: anggaran habis tanpa menyelesaikan akar masalah, sehingga tahun berikutnya muncul proyek serupa (karena masalahnya belum hilang).
Fenomena proyekisme semakin mendapat sorotan di era Reformasi, terutama setelah banyak kasus korupsi terungkap. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KPK sering membongkar modus korupsi anggaran yang melibatkan DPR/DPRD dan birokrat: dari mark-up pengadaan barang, dana bansos fiktif, proyek infrastruktur yang diatur pemenangnya, hingga dana aspirasi anggota dewan yang disalurkan ke proyek-proyek di daerah pemilihannya untuk keuntungan pribadi. Semua ini merupakan manifestasi dari mentalitas proyek tadi -– memandang anggaran publik sebagai objek untuk dikapitalisasi kelompok tertentu. Wajar bila kemudian Indeks Persepsi Korupsi Indonesia relatif rendah. Tahun 2018, misalnya, negara dirugikan sekitar Rp9,2 triliun akibat praktik korupsi proyek pemerintah menurut ICW?.
Dampak sosial proyekisme pun terasa. Kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah rendah karena dianggap hanya proyek sesaat. Partisipasi warga melemah –- misalnya gotong royong membersihkan lingkungan menurun karena semua menunggu program padat karya berbayar. Dunia usaha pun terdistorsi: perusahaan kontraktor kecil sulit berkembang tanpa koneksi politik, sementara perusahaan “penguasa tender” tumbuh kaya bukan karena efisiensi tapi kedekatan. Premanisme kadang bertaut dengan proyekisme ketika muncul aktor-aktor yang berperan sebagai calo proyek atau penagih komisi dengan gaya preman bagi pejabat.
Singkatnya, proyekisme telah melahirkan ekonomi rente dalam birokrasi. Yang dicari bukan inovasi atau outcome bagi masyarakat, melainkan seberapa besar pagu anggaran yang bisa diperoleh dan dinikmati. Hal ini tentu berkelindan erat dengan budaya priyayi dalam birokrasi, yang akan dibahas selanjutnya, karena keduanya menyangkut pola pikir pejabat dalam memanfaatkan jabatan.
***
Priyayisme: Warisan Feodalisme dan Birokrasi Patrimonial
Istilah priyayisme berasal dari kata priyayi, yakni kelas bangsawan atau pegawai tinggi di Jawa pada era feodal dan kolonial. Priyayi tradisional adalah kaum elit yang dekat dengan pusat kekuasaan keraton atau pemerintah Hindia Belanda -– misalnya bupati, wedana, asisten residen pribumi -– yang mendapatkan status dan hak istimewa tertentu?. Mentalitas priyayi merujuk pada pola pikir dan sikap khas kelas elit tersebut: merasa lebih tinggi dari “orang kebanyakan” (wong cilik), menuntut penghormatan dan pelayanan, menjunjung hierarki, serta cenderung konservatif menjaga status quo. Meskipun secara formal sistem feodal berakhir, nilai-nilai priyayi ini diindikasikan masih lestari dalam budaya birokrasi Indonesia modern?.
Secara historis, kerajaan-kerajaan Nusantara (Hindu-Buddha maupun Islam) telah mengenal struktur sosial hierarkis. Selalu ada golongan bangsawan dan abdi yang melayani. Ketika Belanda menjajah, struktur ini dimanfaatkan melalui sistem indirect rule. Kolonial Belanda mempertahankan dan mengangkat priyayi lokal untuk menjadi perpanjangan tangan mereka (disebut kaum priyayi birokrat atau angkatan kaum ningrat baru). Contohnya jabatan Bupati pada abad 19–20 adalah bangsawan lokal yang diberi otoritas memerintah kabupaten untuk kepentingan kolonial?. Para priyayi ini diberi gaji, lahan garapan (apanage), dan penghormatan, asalkan loyal pada Belanda. Dengan demikian, budaya feodal semakin mengeras: rakyat harus menghaturkan hormat dan pelayanan pada priyayi, sementara priyayi bertindak bak tuan tanah/penguasa kecil.
Pada awal abad 20, muncul generasi elit terdidik (kaum nasionalis) yang menentang kolonialisme. Namun, menariknya, banyak pemimpin nasionalis awal juga berasal dari kalangan priyayi (misal: Soetatmo, Tjipto Mangunkusumo dari priyayi Jawa; atau para sutan di Sumatra). Mereka menentang Belanda tetapi tidak sepenuhnya menanggalkan status sosialnya. Setelah Indonesia merdeka, kaum elit priyayi birokrat ini sebagian besar bertransformasi menjadi pejabat Republik. Birokrasi negara baru pada 1950-an pada dasarnya melanjutkan struktur dan personel warisan kolonial. Sartono Kartodirdjo mencatat, Revolusi 1945 tidak sepenuhnya disertai revolusi sosial; di Jawa, struktur pemerintahan tradisional tetap dipertahankan demi stabilitas, berbeda dengan di beberapa daerah (seperti Sumatra Timur) di mana rakyat bangkit menghabisi aristokrasi lokal?. Akibat keberlanjutan tersebut, banyak nilai feodal tetap hidup. Pegawai negeri tinggi masih dipanggil “Tuan”, dilayani sopir dan pembantu, jarak sosial dengan rakyat jelata tetap lebar.
Orde Baru bahkan memperkuat mentalitas priyayi melalui kultur birokrasi yang sangat hierarkis dan militeristis. Aparat sipil negara (ASN) diwajibkan ABS (asal bapak senang) dan tunduk pada satu komando dari atasan?. Inovasi atau kritik ditekan, yang dihargai adalah loyalitas. Ini mengingatkan pada ciri priyayi kolonial: loyal terhadap otoritas, menjaga harmoni, dan menghindari konflik terbuka?. Dalam lingkungan seperti itu, wajar bila birokrat merasa dirinya bagian dari elit yang berkuasa, bukan pelayan. Sampai sekarang pun, seorang guru besar IPDN mengungkapkan masalah utama mental ASN adalah “mentalitas priyayi, seolah merasa berkuasa” sehingga enggan memberikan pelayanan prima?. Pelayanan publik lalu dianggap sebagai pemberian dari atas ke bawah, bukan hak rakyat. Budaya ini tampak misalnya pada sulitnya merombak kebiasaan dilayani, bukan melayani, di kantor-kantor pemerintahan. Rakyat yang mengurus keperluan kerap diposisikan seperti pihak meminta, alih-alih tuan yang harus dilayani.
Ciri lain priyayisme ialah senang akan status dan simbol kehormatan. Para pejabat gemar dengan atribut jabatan: mobil dinas mewah, ajudan, upacara seremonial, dan perlakuan istimewa. Gaya hidup birokrat sering menjauh dari kesederhanaan. Hal ini sudah tampak sejak era kolonial ketika priyayi mengukur prestise dari gelar, busana, hingga jumlah abdi dalem?. Kini pun, fenomena pamer kemewahan oleh pejabat (misal arak-arakan protokol, rumah dinas berlebih, baju dinas kebesaran) mengindikasikan mental “ningrat”. Presiden Jokowi pernah menyoroti hal ini secara simbolik, misalnya dengan tampil sederhana (hanya berkemeja putih tanpa jas) yang oleh media disebut sebagai upaya “mendobrak mentalitas priyayi” di birokrasi?.
Dalam priyayisme, jabatan sering dilihat sebagai warisan atau patronase, bukan amanah pelayanan. Tak heran praktik nepotisme dan kolusi subur. Promosi pegawai kadang bukan karena meritokrasi melainkan kedekatan dengan atasan (patron). Djohermansyah Djohan menyebut mutasi/promosi di birokrasi banyak yang tidak sesuai aturan, bahkan terjadi jual beli jabatan?. Hal ini mencerminkan struktur patron–klien feodal: atasan sebagai “Gusti” pemberi anugerah, bawahan sebagai “abdi” yang harus setia?.
Penelitian Harold Crouch dan William Liddle telah lama mengkategorikan birokrasi Indonesia sebagai patrimonial -– kekuasaan dipertahankan lewat menukar loyalitas dengan pemberian jabatan dan akses material?. Implikasinya, posisi birokrasi menjadi sumber rezeki (material income) yang diperebutkan untuk memperkaya diri?. Kinerja melayani publik tidak lagi jadi fokus utama, kalah oleh kepentingan melanggengkan hierarki kenyamanan para pejabat.
Dampak negatif priyayisme sangat nyata dalam pelayanan publik. Masyarakat masih sering diposisikan sebagai objek, bukan subjek pelayanan?. Alih-alih proaktif menjawab kebutuhan rakyat, birokrasi bertele-tele dengan prosedur yang menyulitkan (membuat rakyat “suwèn” atau harus sungkan). Paradigma top-down ini tentu menjadi penghambat inovasi dan transformasi. Sementara itu, kultur sungkan dan hormat berlebihan menghalangi mekanisme kontrol: bawahan enggan melapor atau mengingatkan atasan yang menyalahi aturan karena takut dianggap tidak hormat. Dalam jangka panjang, mentalitas priyayi menghasilkan pelayanan buruk dan public distrust. Survei kepuasan publik acap rendah terkait birokrasi kita. Reformasi birokrasi pun tersendat karena resistensi mentalitas feodal tersebut.
Meski demikian, harus diakui priyayisme tidak homogen ada di semua tempat. Beberapa instansi yang telah direformasi (misal layanan terpadu satu pintu, atau pemerintahan daerah progresif) mulai menekan budaya ini dengan pelayanan lebih ramah dan transparan. Namun secara umum, warisan budaya priyayi masih kuat berakar hingga level bawah. Hal ini ditandai misalnya dengan suburnya gelar-gelar kehormatan (Haji, Kyai, Dr., Ir., M.B.A., dll.) yang sangat dikedepankan di kartu nama pejabat -– menandakan pentingnya status dan pengakuan. Demikian pula pola hidup “asal bapak senang” masih ditemukan, menunjukkan mindset melayani atasan masih dominan dibanding melayani masyarakat?.
***
Keterkaitan Premanisme, Proyekisme, dan Priyayisme dengan Korupsi
Ketiga fenomena di atas -– premanisme, proyekisme, dan priyayisme -– meski berbeda manifestasi, memiliki benang merah yang sama: penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi/kelompok, yang merupakan esensi dari korupsi. Tidak mengherankan, ketiganya berkelindan erat dengan suburnya praktik korupsi di Indonesia sejak dulu.
Premanisme dan Korupsi: Premanisme menciptakan iklim di mana kekerasan dan ancaman menjadi alat memperoleh uang atau kuasa. Kolusi aparat dengan preman jelas merupakan bentuk korupsi kekuasaan -– aparat menerima suap/upeti dari preman agar pembiaran terjadi, atau aparat menggunakan preman untuk tindak ilegal. Contohnya, di masa Orde Baru banyak oknum militer/polisi menerima jatah dari bandar judi, preman pasar, penyelundup, dsb., sebagai imbalan perlindungan. Premanisme juga melahirkan biaya ekonomi tinggi: pengusaha kecil harus membayar uang keamanan, sopir truk membayar preman di jalan, yang hakikatnya adalah pungutan liar (pungli) hasil korupsi keamanan. Fenomena backing preman oleh pejabat menumbuhkan state of fear di masyarakat dan erosi kepercayaan terhadap hukum?. Secara struktural, Lindsey menyebut Indonesia di era Suharto sebagai “negara kriminal” — institusi negara justru terlibat aktif dalam kejahatan dan korupsi sistemik?.
Proyekisme dan Korupsi: Ini barangkali yang paling jelas kaitannya. Budaya proyek telah menormalisasi korupsi administratif seperti mark-up, kolusi pejabat-pengusaha, dan gratifikasi. Seperti diuraikan sebelumnya, “proyek” dianggap sukses kalau semua pihak terkait mendapat bagian: pejabat dapat fee, kontraktor untung besar (dengan mengurangi kualitas atau markup harga), auditor pun sering kecipratan agar tutup mata. Tradisi kickback dan mark-up adalah bentuk korupsi anggaran yang sangat merugikan keuangan negara?. Tak heran jika kasus-kasus korupsi terbesar umumnya terkait proyek pemerintah (e.g. proyek e-KTP, proyek Hambalang, dll.). Proyekisme juga mendorong kolusi (KKN) antar instansi: misal, anggota DPR berkolusi dengan kementerian agar memasukkan proyek aspirasi; sebagai imbalan, anggota DPR dapat komisi atau proyek tersebut diberikan pada perusahaan miliknya (nepotisme)?. Korupsi model ini marak di era otonomi: muncul ungkapan “panjar jabatan” — kepala daerah yang baru menjabat harus “balas budi” pada tim sukses atau partai pendukung melalui bagi-bagi proyek. Akhirnya, anggaran habis dikorupsi berjamaah dan masalah publik tak tertangani.
Priyayisme dan Korupsi: Mentalitas priyayi mendorong nepotisme dan penyalahgunaan jabatan. Karena pejabat merasa berhak dilayani dan mendapat privilese, maka fasilitas negara kerap dianggap milik sendiri. Contoh, mobil dinas dipakai pribadi, bawahannya disuruh mengerjakan urusan rumah tangga -– ini sebenarnya penyalahgunaan wewenang (korupsi kecil sehari-hari). Priyayisme yang patronistis juga berwujud kolusi: asal orang saya/orang bapak tidak apa-apa langgar aturan. Jual beli jabatan yang disebut sebelumnya jelas korupsi (suap untuk posisi)?. Selain itu, gaya hidup priyayi yang ingin selalu lebih membuat sebagian pejabat lapar rente. Gaji formal dirasa kurang untuk hidup mewah, akhirnya tergoda korupsi. Mental “ingin dilayani” juga menyebabkan layanan publik kerap diiringi pungutan liar –- oknum petugas merasa rakyat “wajib memberi upeti” atas jasanya. Ini tercermin misalnya pada banyaknya keluhan pungli dalam pengurusan KTP, SIM, administrasi tanah, dll. Pada skala lebih besar, priyayisme dalam politik menghasilkan oligarki keluarga (politik dinasti) yang rentan korupsi karena checks and balances melemah. Dengan kata lain, priyayisme menyediakan tanah subur bagi korupsi melalui normalisasi feodalisme (kekuasaan absolut di tangan segelintir elit, tanpa akuntabilitas).
Dapat dikatakan, premanisme, proyekisme, dan priyayisme adalah tiga serangkai penyebab Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) di Indonesia. KKN ini pula yang menjadi musuh utama gerakan Reformasi 1998 -– kala itu rakyat meneriakkan pemberantasan KKN sebagai agenda mendesak?. Meski reformasi sudah berjalan lebih dua dekade, gejala-gejala di atas belum hilang sepenuhnya, menandakan betapa dalamnya akar budaya tersebut — malah cenderung menggila.
Pertanyaan kuncinya: apakah ketiganya adalah akar terdalam masalah Indonesia, atau justru simptom dari sesuatu yang lebih mendasar lagi?