Virtual Background dan Otentisitas Kita

Selama pandemi, saya telah mengikuti puluhan (mungkin hampir seratusan) workshop, konferensi, dan seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kondisi pandemi membuat saya tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Jadi pagi harinya bisa mengikuti acara di Singapura, siangnya kembali ke Jakarta, sore kabur ke India, ba’da Maghrib ke Eropa, lalu dini harinya pindah ke Amerika. Kondisi pandemi juga membuat kebanyakan acara diselenggarakan secara gratis atau diskon yang cukup lumayan. Jadi lumayan banyak penghematan yang bisa saya peroleh.

Yang menarik, selama mengikuti acara-acara tersebut, saya menyimak adanya perbedaan cukup signifikan antara acara di dalam negeri dan di luar negeri. Di dalam negeri, hampir semua peserta umumnya menggunakan backdrop atau virtual background yang sama sesuai dengan tema acara. Di luar negeri, sangat jarang saya temukan penggunaan backdrop atau virtual background yang seragam. Kalaupun ada, mungkin hanya digunakan oleh segelintir kecil panitia inti saja. Keseragaman ini kemudian membuat saya memikirkan gagasan tentang otentisitas (authenticity).

Sebagai seorang pengajar yang lumayan sering membimbing tugas akhir, otentisitas tentu menjadi hal yang sangat penting. Saya cukup sering menjumpai mahasiswa yang kesulitan menemukan topik penelitian tugas akhirnya. Akhirnya, solusi yang dipilih adalah solusi pragmatis. Mereka akan mencari topik yang paling mudah, mencari topik yang datanya tidak sulit diperoleh, mencari topik yang sudah pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya — pokoknya tidak ada upaya untuk going extra mile. Tak jarang, dosen pun juga mengalami masalah serupa. Apakah pragmatisme ini salah? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi yang jelas, otentisitas bisa membantu kita melakukan lebih banyak hal.

Dalam Bahasa Inggris, “authenticity” sangat dekat dengan “originality.” Keduanya bisa diterjemahkan secara bebas dalam Bahasa Indonesia sebagai keaslian. Tapi menurut saya, kata “original” lebih tepat diterapkan untuk buatan manusia yang sesuai dengan spesifikasi teknisnya, seperti kendaraan yang baru keluar dari dealer dan persis seperti dalam brosur. Adapun kata “authentic” lebih tepat digunakan untuk manusia yang tidak pernah sama dalam hal “spesifikasi teknis”, tetapi memiliki “keaslian” sesuai dengan idiosyncracies dan peculiarities yang ada dalam masing-masing manusia. Untuk itu, saya coba definisikan otentisitas sebagai: “competence in being our very own self through inward-turning or introspection.”

Jean-Jacques Rousseau menyebutkan bahwa otentisitas adalah tentang melepas topeng yang masyarakat minta untuk kita kenakan, tentang mengakui mengapa kita benar-benar mengatakan atau melakukan hal-hal tertentu. Di masa berburu dan meramu, semua orang berperilaku sama apa adanya karena semua orang saling mengenal satu sama lain, memiliki keterampilan yang sama, dan sama-sama self-sufficient. Di masa modern, spesialisasi terjadi. Saya bisa memasak, tapi saya tak bisa bercocok tanam. Sebaliknya, Anda bisa bertani, tapi tak pandai memasak. Saya membutuhkan Anda, begitu juga sebaliknya.

Inilah masalahnya. Kita selalu dituntut untuk bisa membuktikan kemampuan kita, memenuhi janji dan komitmen kita, dan punya keterampilan yang memadai dan bisa diandalkan. Hidup jadi seperti job interview yang terus menerus berlangsung. Tak heran bila sebagian dari kita lantas berupaya untuk mencari status yang lebih tinggi dan membentuk citra dari yang sebenarnya kita miliki. Gambaran imajiner inilah yang membuat media sosial begitu populer, filter-filter di Instagram begitu digemari, yang berujung pada penggunaan topeng yang sebenarnya bukan benar-benar diri kita.

Søren Kierkegaard mendorong kita untuk mengambil “passionate leaps of faith” guna menemukan kebenaran subjektif yang benar-benar bermakna bagi kita, untuk mengambil aksi, untuk mengambil pilihan dan/atau yang sulit. Otentisitas, bagi Kierkegaard, adalah ramuan dari intention + commitment + passion. Ramuan inilah yang mendorong terjadinya kemajuan peradaban umat manusia. Otentisitas bukan berarti menjadi weirdo dan outlier di masyarakat, melainkan lebih tentang ekspresi untuk mengedepankan passion, feeling, dan gut, alih-alih sekedar tunduk pada topeng yang diharapkan masyarakat.

Sementara itu, Friedrich Nietzsche tahu bahwa kematian tuhan berarti bahwa manusia bebas untuk menciptakan nilai-nilai mereka sendiri, untuk mengejar keinginan untuk berkuasa secara kreatif, untuk melepaskan diri dari rantai yang dikenakan orang lain pada kita. Kata Nietzsche, kita harus mencintai takdir kita (amor fati), tapi berikan gaya pada karakter yang kita punya. We’re all going to die, but at least we’re going to die in style. Serupa seperti Martin Heidegger yang berpikir bahwa otentisitas berarti menghadapi kematian kita sendiri sebagai makhluk yang menuju kematian, mengatasi kecemasan kita sendiri, dan menjauh dari “They” untuk menciptakan sesuatu yang unik dan abadi di dunia ini.

Di abad pertengahan dulu, seorang individu menjadi pusat perhatian bukan karena atribut yang sangat spesial atau akses pada pengetahuan tertentu, melainkan karena dirinya sebagai seorang individu. Semakin kemari, gagasan tentang masyarakat sebagai sebuah kontrak sosial menjadi semakin mengemuka. Masyarakat yang semakin kompleks dan interaksi yang semakin dinamis memunculkan norma sosial yang harus disepakati bersama. Akibatnya, muncullah pemisahan antara our private self dan our public self. Kata Peter Berger, konsep tentang kejujuran dan harga diri menjadi usang. Gagasan tentang persetujuan (approbation) dan ketidaksetujuan (disapproval) menjadi lebih penting.

Bayangkan Anda baru saja lulus sarjana. Anda membawa nilai-nilai integritas, kepercayaan, dan kejujuran yang sederhana — dan mungkin cenderung naif. Kemudian, Anda bekerja di sebuah institusi yang, ternyata, di dalamnya punya budaya koruptif. Awalnya Anda berupaya untuk menolak karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam diri Anda. Tapi di sisi lain, tidak mengikuti “They” akan membuat Anda teralineasi dan berisiko menghilangkan pekerjaan Anda. Jadilah Anda menjalani kehidupan ganda — public self yang mencoba “membenarkan” perilaku koruptif di tempat Anda bekerja berkelindan dengan private self yang berupaya mempertahankan nilai-nilai luhur dalam diri Anda. Masalahnya, sampai kapan tension ini sanggup bertahan?

Jean-Paul Sartre berpendapat bahwa, di atas segalanya, kita bebas memilih siapa diri kita, apa yang kita lakukan, dan makna apa yang kita lampirkan pada dunia dan objeknya. Kita memiliki kesadaran yang tajam, jernih, dan kuat yang dapat menjelajahi dunia dan karakter kita sendiri. Tidak menggunakan kekuatan reflektif tersebut berarti kita akan hidup dalam itikad buruk yang tidak otentik dan mengabaikan potensi manusiawi kita yang sebenarnya. Kierkegaard mengingatkan bahwa menjalani hidup yang tidak otentik akan membawa kita pada keputusasaan yang meluas (widespread despair). Ciri-cirinya? The fore of spiritlessness, denial, and defiance. Terasa familiar?

Lagi-lagi Heidegger mengingatkan bahwa kita memang tidak mungkin untuk melarikan diri dari masyarakat. There is no exit from the social world. Akan tetapi, jangan sampai kita terjebak pada “average everydayness” yang menjemukan dan membuat kita “jatuh” (verfallen) ke “They.” Kita masing-masing bertanggung jawab pada identitas kita dan bagaimana kita menanggapi cara dunia menampilkan dirinya dalam pengalaman kita. Bahkan dalam setiap “average everydayness” selalu ada kesempatan (opportunities) dan peluang (chances) untuk standing out from the crowds.

Masalahnya, apakah kita akan memilih untuk menjadi otentik atau cukup puas dengan menjadi just another human being?