:(

Not found.

Regulating the (yet) Unregulable?

While we are perhaps only at the beginning of what AI can accomplish, the horse has already left the barn. Other than widely praised OpenAI’s ChatGPT and Microsoft’s Bing Chat, there are massive developments as well such as Google Bard, Adobe Firefly, Canva AI, Microsoft Loop, Bing image creator, Instruct-NeRF2NeRF, Ubisoft’s AI tool, Runway’s text-to-video, among others. Such development represents how AI is starting to transform every aspect of our lives, from education to transportation, from media entertainment to education.

While AI has the potential to bring enormous benefits to humanity, it also poses significant risks and challenges. For instance, AI can reflect and amplify human biases that are present in the data or algorithms used to train and deploy it. AI can also raise serious privacy concerns, as it enables the collection, analysis, and sharing of massive amounts of personal and sensitive data. AI could potentially disrupt the labour market that were previously performed by humans and alter the distribution of income and wealth that eventually widen the gap between those who own and benefit from AI technologies and those who are left behind or harmed by them. Furthermore, AI can create new forms of monopoly power, as a few dominant firms capture most of the data, talent, and profits in the AI sector.

It is no wonder that more than 1,000 tech leaders and scholars –– including business magnate and investor Elon Musk, Apple co-founder Steve Wozniak, Skype co-founder Jaan Tallinn, author Yuval Noah Harari –– have signed an open letter calling to pause development of large-scale AI systems, citing fears over the profound risks to society and humanity. Thus, how can we ensure that AI is developed and used in a way that respects human dignity, rights, and values? Continue reading

Virtual Background dan Otentisitas Kita

Selama pandemi, saya telah mengikuti puluhan (mungkin hampir seratusan) workshop, konferensi, dan seminar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kondisi pandemi membuat saya tidak perlu melakukan perjalanan jauh. Jadi pagi harinya bisa mengikuti acara di Singapura, siangnya kembali ke Jakarta, sore kabur ke India, ba’da Maghrib ke Eropa, lalu dini harinya pindah ke Amerika. Kondisi pandemi juga membuat kebanyakan acara diselenggarakan secara gratis atau diskon yang cukup lumayan. Jadi lumayan banyak penghematan yang bisa saya peroleh.

Yang menarik, selama mengikuti acara-acara tersebut, saya menyimak adanya perbedaan cukup signifikan antara acara di dalam negeri dan di luar negeri. Di dalam negeri, hampir semua peserta umumnya menggunakan backdrop atau virtual background yang sama sesuai dengan tema acara. Di luar negeri, sangat jarang saya temukan penggunaan backdrop atau virtual background yang seragam. Kalaupun ada, mungkin hanya digunakan oleh segelintir kecil panitia inti saja. Keseragaman ini kemudian membuat saya memikirkan gagasan tentang otentisitas (authenticity).

Sebagai seorang pengajar yang lumayan sering membimbing tugas akhir, otentisitas tentu menjadi hal yang sangat penting. Saya cukup sering menjumpai mahasiswa yang kesulitan menemukan topik penelitian tugas akhirnya. Akhirnya, solusi yang dipilih adalah solusi pragmatis. Mereka akan mencari topik yang paling mudah, mencari topik yang datanya tidak sulit diperoleh, mencari topik yang sudah pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya — pokoknya tidak ada upaya untuk going extra mile. Tak jarang, dosen pun juga mengalami masalah serupa. Apakah pragmatisme ini salah? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi yang jelas, otentisitas bisa membantu kita melakukan lebih banyak hal. Continue reading

Pereh, La Masia, dan Paradoks Kompetensi

Pereh adalah nama panggilan yang diberikan untuk kendaraan militer misterius milik Israel yang dikembangkan di awal 1980-an. Secara fisik, bentuknya tak beda jauh dengan tank pada umumnya, namun di bagian atasnya dilengkapi dengan peluncur rudal anti-tank jarak jauh. Pereh dikonversi dari tank tempur Magach 5 yang didesain mampu membawa total 12 rudal anti-tank Tamuz dengan jangkauan hingga 25 kilometer. Dengan menggunakan pemandu fiber-optic link, Tamuz memiliki akurasi yang sangat baik, bahkan pada jarak yang cukup jauh.

Pereh dikembangkan dari pengalaman Israel selama Perang Yom Kippur pada tahun 1973 akan pentingnya rudal taktis darat-ke-darat dengan pemandu presisi tinggi. Konon, versi awal Pereh menjadi salah satu kunci sukses kemenangan Israel dalam perang tersebut. Bayangkan, foto satelit udara memotret “tank” milik Israel yang di masa itu umumnya hanya memiliki jarak tembak hingga 4 kilometer saja. Tentara Mesir dan Suriah pun menyusun strategi militer berdasar informasi tersebut. Tak disangka, ternyata “tank” yang mereka antisipasi tadi ternyata memiliki jarak tembak hingga 6 kali lipatnya. Padahal kekuatan tank Suriah saja sebenarnya 7 kali lebih besar dari milik Israel.

Selama beberapa dekade, Pereh menjadi salah satu misteri terbesar di dunia militer. Apalagi, Pereh adalah kendaraan yang dibuat sendiri oleh produsen lokal bernama Rafael Advanced Defense Systems, bukan produk teknologi militer yang dibeli dari negara lain. Saking rahasianya, informasi tentang Pereh baru diungkapkan kepada publik pada tahun 2011. Foto-foto Pereh sendiri baru bocor di tahun 2013. Pada tahun 2017 Pereh ditarik dari tugas operasionalnya di lapangan dan tetap belum ditemukan informasi pasti tentang berapa banyak Pereh yang dibuat di masa itu. Continue reading

5G dan Kedaulatan Teknologi

Berkembangnya teknologi komunikasi nirkabel generasi ke-5 (5G) menarik perhatian banyak pihak, apalagi di tengah riuh rendahnya perang dagang dan pandemi global ini. Sayangnya, hal ini relatif tak banyak diperbincangkan di Indonesia. Teknologi baru ini diluncurkan sejak 2019 dan sudah mulai digunakan di lebih dari 35 negara sampai tahun 2020 ini. Yang menarik, berbeda dengan teknologi-teknologi sebelumnya, 5G membuka banyak peluang yang mau tak mau menimbulkan benturan ke sektor politik dan kedaulatan negara.

5G adalah jaringan seluler generasi ke-5 yang menjadi standar nirkabel baru setelah jaringan 1G (1980an), 2G (1990an), 3G (2000an), dan 4G (2010an). 5G dirancang untuk memberikan kecepatan data maksimal hingga 20 Gbps melalui konektivitas yang sangat ramping dan berbiaya rendah. Sebagai gambaran, untuk mengunduh satu film berdefinisi tinggi (HD) dengan durasi 2 jam dalam koneksi 4G penuh kita membutuhkan waktu 6 menit, namun dalam koneksi 5G hanya perlu waktu sekitar 3,6 detik saja. Piranti 4G mampu merespons perintah pengguna dalam 45 milidetik, sedangkan piranti 5G dapat melakukannya dalam 1 milidetik.

Teknologi 5G dapat menghubungkan beragam perangkat yang berbeda-beda dengan respon yang lebih cepat dan stabilitas data yang konsisten, bahkan ketika penggunanya bergerak. Ia juga dapat diaplikasikan dalam berbagai piranti kendali jarak jauh seperti infrastruktur yang kritikal, kendaraan tanpa pengemudi, hingga operasi kedokteran yang rumit. Tak heran, teknologi ini memiliki potensi tinggi untuk mengubah konektivitas, meningkatkan pengalaman pengguna, dan meningkatkan efisiensi bisnis. Continue reading

Jualan Radikalisme

Ada yang salah dengan bagaimana kita memahami “radikalisme” — sebuah kata yang mengalami peyorasi secara berlebihan dalam beberapa waktu terakhir ini. Hal ini terlihat sangat konyol mengingat saat ini kita sebenarnya berada pada puncak peradaban, kemajuan ilmiah, dan rasionalitas yang senantiasa dijunjung tinggi.

Jonathan Githens-Mazer dari Universitas Exeter, Inggris, secara semantik mendefinisikan radikalisasi sebagai, “individually held, collectively defined, moral obligation to participate in direct action, often textually defined.” Dalam definisi ini, Githens-Mazer sama sekali tidak menyebut tentang orientasi politik maupun agama atau kepercayaan. Sumber inspirasi radikalisme bisa datang dari manapun, mulai dari buku, manifesto politik, sampai kitab suci.

Dalam pengertian tersebut, radikalisme dapat bermakna bagaimana seorang individu maupun secara kolektif dalam komunitas atau masyarakat, dapat memahami isu-isu di sekitar mereka, hingga menyalakan hasrat/gejolak dalam diri mereka sampai mereka merasa berkewajiban untuk melakukan sesuatu tentang isu tersebut. Dengan demikian, radikalisme itu sendiri pada dasarnya bukan merupakan suatu masalah. Continue reading