5G dan Kedaulatan Teknologi
Berkembangnya teknologi komunikasi nirkabel generasi ke-5 (5G) menarik perhatian banyak pihak, apalagi di tengah riuh rendahnya perang dagang dan pandemi global ini. Sayangnya, hal ini relatif tak banyak diperbincangkan di Indonesia. Teknologi baru ini diluncurkan sejak 2019 dan sudah mulai digunakan di lebih dari 35 negara sampai tahun 2020 ini. Yang menarik, berbeda dengan teknologi-teknologi sebelumnya, 5G membuka banyak peluang yang mau tak mau menimbulkan benturan ke sektor politik dan kedaulatan negara.
5G adalah jaringan seluler generasi ke-5 yang menjadi standar nirkabel baru setelah jaringan 1G (1980an), 2G (1990an), 3G (2000an), dan 4G (2010an). 5G dirancang untuk memberikan kecepatan data maksimal hingga 20 Gbps melalui konektivitas yang sangat ramping dan berbiaya rendah. Sebagai gambaran, untuk mengunduh satu film berdefinisi tinggi (HD) dengan durasi 2 jam dalam koneksi 4G penuh kita membutuhkan waktu 6 menit, namun dalam koneksi 5G hanya perlu waktu sekitar 3,6 detik saja. Piranti 4G mampu merespons perintah pengguna dalam 45 milidetik, sedangkan piranti 5G dapat melakukannya dalam 1 milidetik.
Teknologi 5G dapat menghubungkan beragam perangkat yang berbeda-beda dengan respon yang lebih cepat dan stabilitas data yang konsisten, bahkan ketika penggunanya bergerak. Ia juga dapat diaplikasikan dalam berbagai piranti kendali jarak jauh seperti infrastruktur yang kritikal, kendaraan tanpa pengemudi, hingga operasi kedokteran yang rumit. Tak heran, teknologi ini memiliki potensi tinggi untuk mengubah konektivitas, meningkatkan pengalaman pengguna, dan meningkatkan efisiensi bisnis.
Hingga saat ini, Huawei adalah pemimpin di dunia 5G dengan pangsa pasar lebih dari 30 persen di seantero dunia. Sebagai sebuah perusahaan yang baru didirikan 1987 oleh mantan tantara Ren Zhengfei, Huawei bertumbuh menjadi perusahaan besar dengan pendapatan $122 miliar di tahun buku 2019. Mereka kini punya lebih dari 190 ribu karyawan di 170 negara dan menjadi pembuat chip 5G yang menantang pemain besar yang ada sebelumnya: Qualcomm. Produsen lain seperti Ericsson (Swedia) dan Nokia (Finlandia) juga mengembangkan 5G mereka masing-masing, namun kecepatan dan penetrasinya masih jauh di bawah Huawei.
Lalu apa masalahnya?
Sebagai sebuah negara yang terkoordinasi secara sentralistik, Tiongkok terkenal dengan rencana lima tahunannya yang saat ini telah mencapai rencana ketigabelas (2016-2020). Dalam periode ini, industri berat akan ditinggalkan dan beralih pada inovasi berbasis teknologi modern menjadi salah satu kunci utama untuk membentuk masyarakat Tiongkok yang makmur. Mereka ingin mendapat kue lebih besar dalam produksi global dan menghapus citra inferior yang selama ini melekat pada produk “Made in China.”
Tak heran, pemerintah Tiongkok memberikan komitmen penuh dan berinvestasi jor-joran kepada Huawei sebagai flagship mereka di sektor telekomunikasi — bersama Xiaomi. Sebagai contoh, mereka menikmati setidaknya $75 miliar dalam bentuk keringanan pajak dan pembiayaan sumberdaya yang murah. Hal ini lumrah sebagai sebuah praktik bisnis yang bisa dijumpai di mana pun. Kompleksitas baru muncul ketika kita kaitkan praktik bisnis yang dilakukan Huawei dengan kebijakan pemerintahan sentralistik Tiongkok serta upaya intelijen yang mereka lakukan.
Mari kita lihat Undang-Undang Intelijen Nasional Republik Rakyat Tiongkok tahun 2017. Aturan ini berisi 6 bab dan 32 pasal. Pasal 7 secara khusus memberikan peluang bagi setiap warga dan entitas Tiongkok untuk menjadi bagian intelijen negara. Pasal tersebut berbunyi, “Any organization or citizen shall support, assist and cooperate with the state intelligence work in accordance with the law, and keep the secrets of the national intelligence work known to the public.” Selain itu, ditegaskan kembali di Pasal 14 dan 16 bahwa pekerjaan intelijen negara mungkin memerlukan bantuan warga maupun entitas Tiongkok, dan memberikan akses bagi intelijen untuk memeriksa, mengambil file, materi, dan bahan yang diperlukan.
Pasal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sekalipun Huawei (maupun perusahaan teknologi Tiongkok lainnya) membantah bahwa perusahaannya melakukan kegiatan spionase, apabila pemerintah Tiongkok meminta data untuk keperluan intelijen, maka secara hukum Huawei harus memberikannya. Dan melihat kecepatan dan kekuatan teknologi 5G, bahaya terbesar bukan hanya pada penyadapan informasi, tetapi, lebih dari itu, intervensi dalam semua piranti yang dikendalikan melalui protokol 5G milik Huawei: internet, kendaraan, rumah sakit, hingga drone dan senjata militer yang bisa memicu perang.
Ketakutan semacam ini mungkin agak mengada-ada, namun, cukup memberikan alasan kuat bagi beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang untuk menolak kehadiran 5G yang dibawa Huawei. Sebaliknya, negara-negara Eropa nampaknya agak lebih terbuka terhadap Huawei. Sudah sekitar 20 tahun Huawei beroperasi di benua Eropa. Banyak antena dan piranti mobile yang diproduksi oleh Huawei digunakan di sana. Sejauh ini belum ada klaim bahwa Huawei melakukan aktivitas spionase di benua biru tersebut.
Misalnya, laporan yang dirilis oleh Huawei Cyber Security Evaluation Centre (HCSEC) Oversight Board, sebuah organisasi yang dibentuk oleh National Cyber Security Centre (NCSC) di Inggris, tidak menemukan bukti langsung adanya spionase (state-backed espionage) yang dilakukan oleh Huawei dan pemerintah Tiongkok. Walau demikian, laporan itu menyoroti kerentanan dalam desain produk Huawei terkait aspek keamanan (basic engineering competence and cyber security hygiene).
Di sisi lain, sebenarnya negara-negara besar selain Tiongkok juga memiliki undang-undang “pintu belakang,” misalnya Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Russia, Brazil, India, dan sebagainya. Bahkan, tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam juga memiliki backdoor laws semacam itu. Undang-undang tersebut memberi legitimasi kepada pemerintah untuk memaksa operator jasa telekomunikasi membuka informasinya guna melakukan investigasi atas tindak terorisme.
Gegap gempita seputar 5G ini menunjukkan bahwa dominasi perusahaan-perusahaan teknologi besar dalam kehidupan kita sehari-hari adalah fakta yang tak terbantahkan. Program-program pengawasan (surveillance) yang digalakkan oleh negara-negara besar di dunia, walau sulit untuk dibuktikan secara empiris, berpotensi besar untuk menyusup ke dalam kehidupan pribadi kita maupun dalam administrasi publik. Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk mengembangkan kapasitas teknologi digital agar kita jangan hanya menjadi meja prasmanan bagi negara-negara dan perusahaan-perusahaan teknologi besar saja.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa teknologi telah berlaku untuk segala bentuk aplikasi strategis, sehingga definisi “industri strategis” tak melulu harus berkaitan langsung dengan kedirgantaraan atau pertahanan semata. Tentu saja kita harus mengamankan kemandirian teknologi sendiri agar kita masih punya harapan untuk menghadapi raksasa Internet dan telekomunikasi dunia. Memberi lisensi tak terbatas kepada Huawei (atau perusahaan teknologi asing lainnya) untuk mengembangkan dan mengimplementasikan jaringan 5G pada akhirnya akan melemahkan kemampuan kita sendiri dan menempatkan infrastruktur telekomunikasi kita pada posisi yang kurang menguntungkan.
Terhadap latar belakang perang dagang dan pandemi global yang terjadi saat ini, setidaknya terdapat dua pelajaran penting bagi penyusunan kebijakan teknologi di Indonesia. Pertama, di level bawah (grassroot), kolektivitas untuk mengatasi bencana, memenuhi kebutuhan bersama, dan saling tolong-menolong antarsesama menunjukkan adanya keinginan kuat dari masyarakat untuk lebih berdaulat dalam mengkontaminasi penyebaran virus. Kedua, munculnya sejumlah solusi-solusi lokal buatan sendiri di banyak wilayah menunjukkan bahwa kemampuan solidaritas untuk memitigasi masalah di level bawah sebenarnya boleh dibilang cukup baik.
Untuk itu, krisis coronavirus tak boleh menjadi pembenaran untuk lebih banyak campur tangan kekuatan besar asing dalam transformasi digital di Indonesia. Seringkali retorika politik mencerminkan persepsi bahwa kita telah kehilangan pengaruh ekonomi global, geopolitik, maupun ketergantungan pada solusi teknologi yang hampir seluruhnya berasal dari luar negeri. Dalam masa prihatin seperti saat ini, pemerintah harus menginisiasi upaya untuk mereplikasi solusi teknologi kelas dunia yang ada — yang dalam banyak kasus digunakan dalam kombinasi dengan teknologi dan kearifan lokal — dalam kemasan “Made in Indonesia” dengan kualitas dan keandalan yang lebih baik.
Selain itu, karena berbagai tingkat perkembangan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, dan perbedaan dalam budaya, kebijakan teknologi preskriptif yang seragam akan mengecualikan banyak wilayah dari pemanfaatan peluang yang ada dan baru yang muncul dari digitalisasi. Indonesia tidak dapat dianggap sebagai satu blok monolitik mengingat setiap wilayah memiliki faktor idiosinkratik masing-masing yang dapat memberi kontribusi bagi percepatan proses konvergensi dalam transformasi digital ini. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi “cyber-colony” bagi negara-negara dan perusahaan-perusahaan teknologi besar saja.
*) Tulisan versi ringkasnya dimuat di Harian Kontan, Sabtu, 18 Juli 2020, hal. 11.