Evolusi Filosofi
Atas permintaan beberapa penggemar (duh!) di Twitter, saya ingin bercerita sedikit soal filosofi investasi saya. Saya sudah memulai investasi reksadana sejak masih kuliah, dengan modal dana dan pengetahuan ala kadarnya. Dulu saya adalah pendukung investasi reksadana karena relatif mudah bagi pemula. Reksadana juga bagus sebagai batu loncatan sebelum mencoba instrumen investasi lain yang lebih canggih. Di tahun 2008 saya bahkan menulis buku tentang investasi di instrumen ini.
Tapi dalam perjalanannya saya menemukan kelemahan dari reksadana, yaitu “hidden” fee. Fee yang dimaksud bukanlah fee beli/jual (subscription/redemption), melainkan management fee reksadana tersebut. Saya menemui sejumlah reksadana tidak terlalu transparan dalam memaparkan fee pengelolaan reksadana mereka. Mereka juga tidak menyebutkan secara jelas komposisi fee pengelolaan (oleh manajer investasi) dan fee marketing (yang di-share ke agen penjual/bank). Biarpun persentasenya tak seberapa, fee ini cukup mempengaruhi net return yang diperoleh investor.
Sebetulnya ada alternatif lain, yaitu reksadana indeks. Mereka dikelola secara pasif, dengan mengacu pada benchmark (biasanya IHSG atau LQ45), sehingga risiko kesalahan (tracking error) lebih kecil dan biaya pengelolaannya lebih murah daripada reksadana saham. Masalahnya, pada saat itu reksadana indeks belum ada. Seingat saya, cuma ada satu reksadana indeks yang mengacu pada Jakarta Islamic Index—tapi tidak saya pilih karena mereka tidak berinvestasi pada sektor yang cukup bagus: bank dan rokok.
Berangkat dari situ, saya mengubah filosofi investasi saya dari reksadana menuju investasi langsung di saham. Pada saat itu saya berpikiran bahwa saya bisa meniru (mirroring) dari reksadana terbaik yang ada, tetapi saya kelola sendiri untuk meminimumkan “hidden” fee seperti yang ada pada reksadana. Sebagai langkah awal, saya fokus pada saham-saham blue chip atau saham-saham LQ45. Alasannya, mereka adalah perusahaan yang solid, mudah dijumpai, dan kebanyakan isi perut reksadana yang saya tiru adalah saham-saham blue chip dan LQ45.
Lagi-lagi, dalam perjalanannya saya menemui kelemahan kembali. Saham-saham blue chip dan LQ45 rata-rata sudah berharga tinggi. Saya baru bisa mendapatkan harga murah ketika ada isu tertentu (misal masalah pembayaran royalti Unilever beberapa waktu lalu) atau ketika harga produknya di pasaran sedang anjlok (misal saham-saham tambang dan komoditi). Masalah kedua, saham-saham tersebut umumnya tidak mempunyai upside potential yang besar, karena harga di pasar sudah already priced-in. Sangat jarang Anda jumpai saham dengan fair value Rp 10.000 yang dihargai Rp 5.000-7.000 di pasar. Yang ada, harga mereka di pasar sudah berkisar Rp 9.000-11.000.
Memang benar, dalam satu tahun kenaikan harga saham-saham tersebut bisa mencapai 15%-20%—masih jauh di atas deposito. “Kelemahan” tersebut juga tidak menjadi masalah bila investasi Anda hendak berorientasi long-term (lebih dari 10 tahun), toh Anda juga mendapatkan income dari dividen yang periodik. Tapi saya ingin lebih dari itu. Sama halnya seperti anak muda (halah) pada umumnya, saya ingin fast track yang bisa memberi saya hasil lebih baik karena modal saya terbatas.
Akhirnya, saya mencoba small-but-solid companies. Ada ratusan perusahaan yang belum ter-capture oleh investor institusional. Sebagian dari mereka masih dihargai sangat murah dan punya potensi upside yang besar. Tahun 2011 misalnya, saya mencoba (dan Alhamdulillah berhasil) di AMFG dan AUTO. Tahun berikutnya saya ketiban berkah di ARNA, JTPE, dan LPCK. Mereka bisa memberikan return di atas 50%. Dan tahun ini saya coba lagi di antaranya lewat BJTM, PNLF, dan WINS. Tidak mudah memang “spotting” saham-saham seperti ini. Sama halnya seperti “spotting” Anisa Chibi atau Nabilah JKT48 3-4 tahun lalu (ehm!).
Tentu saja metode ini masih ada kelemahannya. Pertama, karena saham-saham ini tidak terjangkau radar orang kebanyakan, kita tidak akan pernah tahu kapan mereka akan “unlock” fair value mereka. Kita tahu saham X seharusnya dihargai di Rp 1.000, tetapi harganya saat ini masih Rp 300-400. Sayangnya kita tak tahu berapa lama yang dibutuhkan hingga saham X tersebut menembus Rp 1.000. Yang bisa kita lakukan hanya mencari dan menduga katalis yang bisa mengangkat saham tersebut (misal akan ada merger/akuisisi, ada rencana stock split, atau corporate action lainnya).
Kelemahan kedua, kalaupun kita tahu fair value saham X adalah Rp 1.000 dan kita tahu ada katalis di bulan depan, kita tidak bisa 100% yakin seberapa besar saham tersebut akan unlock value-nya. Bisa saja saham X hanya terdongkrak dari Rp 300-400 ke Rp 800 saja. Tapi ada kalanya saham tersebut malah terbang menuju Rp 1.300. Kita tidak akan pernah tahu seberapa aktif pasar akan bereaksi terhadap value stocks semacam ini. Tapi toh kedua kekurangan tersebut masih tak seberapa daripada kelebihannya.
Harus diakui, untuk saat ini metode tersebut boleh dibilang yang terbaik bagi saya. Sebagian portofolio saya memang masih di blue chip dan LQ45 yang akan dikekep sampai diwariskan untuk anak-cucu kelak. Saya masih menyimpan AKRA, ASRI, BBRI, KLBF, SMGR, dan UNVR yang dibeli entah sejak kapan tahun dan tidak ada niat untuk menjualnya. Tapi sebagian portofolio saya mulai banyak disisihkan untuk “betting” di value stocks seperti yang saya sebut di atas.
Nah, kalau ditarik benang merahnya, filosofi investasi saya memang selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. I don’t have all the answers. My method isn’t perfect. Metode yang saat ini cukup bagus, belum tentu akan sukses juga di masa depan. It just takes trial and error learning investment’s lessons. That’s where I gain more experience, wisdom, and better rate of return.
Yang saya pelajari dari perjalanan investasi tersebut adalah bahwa hidup itu sesungguhnya adalah sebuah eksperimen. Kita tidak akan tahu kalau kita tidak pernah mencoba. Percobaan itu bisa salah, bisa saja benar. Bukankah hidup itu tentang bagaimana kita mengambil risiko dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari risiko tersebut? Tapi dari percobaan itulah kita bisa mendapatkan feedback yang bisa digunakan untuk improvement di masa depan. Yang menarik, berdiam diri tidak melakukan perubahan seringkali jauh lebih berisiko daripada “nekat” melakukan sesuatu yang baru.
“Evolusi” semacam ini tak cuma saya terapkan dalam hal investasi saja. Saya juga coba mengaplikasikannya dalam hal pilihan hidup, pekerjaan, menulis, hobi, golf, dan masih banyak lagi. Terkadang memang kita membuat kesalahan walaupun asumsi yang kita ambil saat itu sudah tepat. Terkadang kita bahkan terlalu banyak membuat kesalahan sehingga merasa terintimidasi atau insecure terhadap orang lain. Tapi sesungguhnya dari perubahan itulah kita mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga. You can read all the motivator’s tweet, but nothing compares to the experience you gain from good old trial and error.
Tak mudah memang mengubah filosofi hidup seseorang, boro-boro membuatnya “berevolusi” dari waktu ke waktu. Sudah nyaman, buat apa mencari ketidaknyamanan lain? Most people hesitate to change and adapt, because it painful and make them feel uncomfortable. Kita dihadapkan pada musuh besar, dan musuh besar itu adalah diri kita sendiri. We have found the enemy and s/he are us.
Di jaman yang serba cepat seperti sekarang ini, yang bisa kita lakukan adalah membuka diri terhadap perubahan. Perubahan itu bisa langsung berhasil, bisa juga gagal. God wants to pull us from complacency and explore new opportunities. Surely, everything will not go as planned but what is important is that we learn from the experiences, both good and bad. Thus, try to get comfortable with failure, because there is no way you are get it right every time.
Life is merely trial and error, until our final day is among us. So, how comfortable are you with failure? How would you change to a growth and evolutionary mindset?