Mengembalikan Keberadaban Dunia Maya

Konon, ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Namun kini, ada yang jauh lebih kejam daripada ibu kota dan ibu tiri: ibu jari warganet (netizen). Mulai dari pesan viral di media sosial, situs politik, akun selebritas, hingga portal sepakbola, begitu mudah ditemukan caci maki dan hujatan seisi kebun binatang. Apa yang membuat kita berubah? Di manakah rasa kemanusiaan kita sesungguhnya?

Internet dan media sosial memang dunia yang sangat demokratis dan bahkan cenderung anarkis. Siapapun dapat membuat akun, memajang foto, menulis artikel, dan menyebar pesan tanpa harus benar-benar membuktikan jati diri mereka yang sesungguhnya. Anda bisa membuat sebanyak mungkin akun anonim semau Anda—yang di satu sisi dapat mendorong kreativitas, tetapi juga membuka peluang bagi pembuat onar di sisi yang lain.

Dalam konteks masyarakat Indonesia dengan segala keterbatasan literasi digitalnya, ruang-ruang digital semacam ini menjadi lubang yang dapat dimainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini bisa menjadi senjata ampuh bagi pihak-pihak oportunis untuk memainkan isu-isu yang dapat memecah belah masyarakat. Bukannya mempersatukan, teknologi digital justru menciptakan fragmentasi dan mendorong perpecahan.

Untuk memetakan persoalan tersebut, setidaknya ada beberapa isu yang bisa kita perdalam.

Isu pertama adalah ilusi tentang keberagaman. Kehidupan umat manusia pada dasarnya cenderung untuk selalu mencari pola-pola kesamaan. Sebaliknya, perkembangan teknologi justru membawa konsep keberagaman (diversity) menjadi lebih dekat dan nyata daripada sebelumnya. Bila sebelumnya seseorang hanya terekspos oleh atribut yang kurang lebih sama dengan atribut yang melekat pada dirinya, maka secara teori kini kita semua dapat terekspos dengan siapapun.

Keberagaman adalah tentang berbagai hal yang berbeda (a range of different things). Keberagaman tak cuma soal agama dan kesukuan, melainkan juga perbedaan pengalaman dan perspektif. Celakanya, tidak semua dari kita siap dengan ekspos yang begitu terbuka, cepat, dan gamblang. Banyak yang menganggap perbedaan tersebut terlalu ekstrim dan sulit untuk diterima.

Sejatinya, keberagaman harus datang satu paket bersamaan dengan inklusi. Inklusi adalah memastikan bahwa pengalaman dan perspektif setiap orang yang berbeda-beda tersebut sama-sama mendapat penghormatan dan pengakuan. Kalau kita terbiasa hidup di lingkungan yang sama, jarang beroleh exposure yang berbeda, atau tidak pernah berinteraksi dengan dunia luar, maka toleransi kita terhadap keberagaman dan inklusi juga patut dipertanyakan.

Isu kedua adalah kecerdasan algoritma. Pemilik platform seperti media sosial berusaha untuk membuat kita kerasan dan berlama-lama menghabiskan waktu di dalamnya. Semakin tinggi interaksi (engagement), semakin baik pula peluang iklan. Hal ini akan meningkatkan pengaruh eksternalitas jejaring (network externalities) yang pada akhirnya juga akan mendongkrak pendapatan mereka. Oleh karenanya, algoritma platform tersebut berusaha untuk memilih hal-hal yang cocok untuk dibagikan kepada kita.

Tentu saja sekedar cocok belumlah tentu baik. Algoritma tidak terlalu mahir dalam memahami apakah hal-hal tersebut bermanfaat atau justru berbahaya. Algoritma juga tidak akan mengekspos kita dengan hal-hal yang menurutnya berbeda dengan kita. Padahal, melihat hal-hal yang berbeda dengan atribut kita jelas berguna untuk menjamin toleransi. Tak pelak, hal ini akan mendorong polarisasi yang begitu kuat.

Algoritma juga belum benar-benar mampu membedakan gagasan yang benar dan hoaks. Ketika gagasan tersebut menarik sekumpulan orang, algoritma melihatnya sebagai suatu hal yang menarik dan akan membawanya hingga gagasan tersebut menggapai publik yang lebih luas. Hanya karena gagasan tersebut sedang “trending“, maka kita pun tergoda untuk ikut berpartisipasi dan membuatnya kian viral. Semakin viral suatu gagasan, biasanya akan semakin terfragmentasi dalam dua ekstrim yang berbeda.

Isu ketiga yang tak kalah penting adalah institusi sosial. Bagaimana umat manusia bisa bertahan hidup (survival) dan berevolusi dalam jangka panjang merupakan hasil dari kerjasama (cooperation) dan ikatan (bonding) yang kuat dalam suatu lingkungan sosial. Kemampuan tersebut bergantung pada sikap baik (general niceness) yang pada akhirnya akan berujung pada rasa saling percaya (trust). Dengan berkelompok, seorang individu beroleh manfaat dan memiliki tingkat bertahan hidup yang lebih tinggi. Bagaimana seorang individu diizinkan untuk bergabung dan mendapat manfaat dari kelompok tersebut bergantung pada reputasinya untuk berperilaku kooperatif.

Dalam kehidupan masyarakat tradisional, interaksi dilakukan dengan orang-orang dekat dan cenderung akan melakukan interaksi kembali dalam waktu dekat. Dengan demikian, tidak ada insentif untuk bertindak agresif atau berlaku oportunis dari anggota masyarakat yang lain. Institusi sosial, baik itu bersifat formal maupun informal, memberi pengaruh perilaku masyarakat. Semakin kuat dan terpercaya suatu institusi, maka semakin tinggi pula tingkat proteksionisme yang diberlakukan.

Dalam konteks masyarakat tradisional yang mengandalkan kehidupan berburu dan meramu, kerjasama dan berbagi menjadi motivasi yang kuat untuk bisa bertahan hidup. Lingkungan sosial memiliki aturan yang mengatur interaksi sosial mereka secara kuat dan mapan. Mereka terikat pada kedekatan fisik, identitas dan reputasi yang melekat, serta mekanisme reward dan punishment yang jelas. Dalam interaksi masyarakat modern berbasis internet dan media sosial, hal-hal tersebut tidak berlaku. Teknologi digital justru menawarkan jarak (distance), anonimitas identitas, dan risiko serta hukuman yang rendah terhadap perilaku yang buruk.

Ketiadaan struktur sosial dan institusi tersebut mendorong hilangnya keberadaban di internet dan media sosial. Dalam banyak kasus, mungkin tidak akan ada seorang pun yang tahu perbuatan jahat Anda di dunia maya. Tak heran, bila kita memperlakukan orang asing di dunia nyata dengan penuh hormat dan tenggang rasa, maka di dunia maya mudah bagi kita untuk berperilaku kasar dan intoleran. Tidak ada insentif bagi kita untuk berbuat bagi. Tidak ada juga hukuman bagi kita bila kita melakukan perbuatan buruk.

Tak dapat dielakkan bahwa kemajuan dunia modern terletak pada kemampuan kita sebagai manusia untuk mengkomunikasikan berbagai ide dan gagasan yang progresif. Internet dan media sosial menawarkan peluang kerjasama dan jejaring komunikasi yang tak tertandingi. Namun, alih-alih merangkul semua manusia secara luas, internet dan media sosial nampaknya justru akan mendorong kita kembali kepada aspek kesukuan (tribalisma) dan konflik. Dus, teknologi digital yang semula digadang-gadang dapat menyatukan umat manusia terlihat menjadi suatu gagasan yang terlalu naif.

Tentu saja, mengembalikan internet dan media sosial yang beradab adalah pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Pemerintah selaku regulator perlu mengawasi dan mengawal jalannya kehidupan di dunia maya untuk menjamin adanya mekanisme punishment yang tepat bagi para pembuat onar. Pebisnis dan pemilik platform tentu perlu terus menerus mengembangkan algoritma mereka agar bisa mengkurasi konten dengan lebih akurat. Namun, selagi menunggu semua hal tersebut dapat terwujud, lebih penting bagi kita untuk kembali mengevaluasi perilaku dan kebiasaan kita di dunia maya. Jangan sampai satu jari kita menunjuk orang-orang di luar sana, sementara empat jari yang lain sesungguhnya menuding diri kita sendiri.