Membatasi Pilihan Sendiri
Ada sebuah buku menarik berjudul The Paradox of Choice karya Barry Schwartz. Buku itu menjelaskan bahwa kita merasa diri kita akan lebih happy ketika kita punya banyak pilihan dalam hidup kita. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Kita mungkin bisa mengambil keputusan terbaik karena punya banyak opsi dalam hidup kita, namun sebaliknya, yang terjadi justru hal itu malah membuat kita merasa kurang baik dan tertekan.
Hal ini berlawanan dengan anggapan umum yang kita terima selama ini. Dulu kita berasumsi bahwa pilihan yang terbatas membuat hidup kita susah dan pilihan yang lebih banyak akan membuat kita senang. Tapi nyatanya yang terjadi justru berkebalikan. Makin banyak pilihan yang kita miliki, kita akan cenderung merasa tidak bahagia karena kita merasa bahwa “mungkin” ada pilihan lain yang lebih baik atau lebih menyenangkan hati kita. Inilah yang membuat perasaan kita tidak tenang.
Di dua chapter terakhir, Barry Schwartz menawarkan solusi atas persoalan ini. Yang perlu kita lakukan adalah kita harus secara sengaja membatasi pilihan-pilihan dalam hidup kita. We have to intentionally restrict our selves and live within a certain set of limitations. Sometimes you feel like you’re missing this option and that option and that option over there. But actually, it’s better not to have too many options.
Kita hidup dengan segala keterbatasan. Waktu kita terbatas. Uang yang kita miliki juga terbatas. Energi kita juga ada batasnya. By intentionally restricting yourself and living within a certain set of limitations, you know where to direct your energy, where to direct your passion. In the end, you will be very happy.
Believe me.
Contoh gampangnya terjadi sewaktu saya pertama kali menggunakan komputer Mac. Saking excited-nya, saya memasang banyak aplikasi di dalamnya. Akibatnya, kinerja komputer jadi menurun dan kapasitas penyimpanannya jadi terbatas. Tak jarang saya malah bingung hendak menggunakan aplikasi yang mana untuk mengerjakan suatu tugas.
Sekarang saya batasi pilihan dalam Mac saya. Aplikasi-aplikasi yang jarang digunakan atau kurang kebermanfaatannya langsung saya buang. Saya hanya berfokus pada Notational Velocity, Keynote, Microsoft Excel, Mozilla Firefox, Songbird, dan MacKeeper. Komputer jadi ringan, bebas masalah, dan sayapun merasa jauh lebih fokus dan produktif dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Lebih sedikit pilihan malah membuat saya lebih happy.
Saya juga termasuk maniak dalam mengoleksi buku. Koleksi buku saya sudah menembus angka ratusan. Kebanyakan buku-buku bertema bisnis, manajemen, dan keuangan, namun banyak juga buku-buku bertema lain seperti agama, personal development, agrikultur, hingga novel fiksi. Sebagian besar buku yang saya punya memang saya baca sampai tuntas. Namun ada juga yang tak sempat tersentuh. Sebagian besar malah sudah mulai kumal dan tak sedikit yang dimakan kutu/rayap. Sebagian besar buku tersebut akhirnya saya jual murah dan hasilnya disumbangkan. Sekarang koleksi saya lebih sedikit, tapi saya merasa jauh lebih bahagia.
Sama juga dengan pakaian. Dulu saya punya banyak koleksi pakaian—termasuk sangat banyak untuk ukuran laki-laki normal. Akibatnya sebagian besar koleksi saya malah jadi tak terawat. Tak jarang ketika akan menghadiri acara/keperluan tertentu malah sering bingung memilih pakaian yang akan dipakai. Akhirnya saya memutuskan untuk menyumbangkan sebagian besar koleksi pakaian tersebut. Pilihan saya lebih sedikit, tapi saya merasa jauh lebih bahagia.
Hal yang sama juga terjadi dalam urusan personal relationship. Seiring dengan meningkatnya status dan meluasnya lingkup pergaulan kita, maka hubungan yang bisa kita bangun jadi semakin banyak. Akan ada makin banyak pilihan-pilihan lawan jenis yang bisa kita dekati untuk membangun hubungan pribadi yang bersifat intim. Tapi yang terjadi justru kita akan semakin susah menentukan pilihan. Kita jadi pandai menolak dan pasang standar tinggi. Ketika banyak rekan-rekan sejawat yang sudah menikah, kita malah berkutat pada pilihan-pilihan yang belum ada kepastian. In the end, kita malah jadi tidak merasa happy.
Dalam dunia politik, hal yang sama juga terjadi. Kita memang negeri yang sangat demokratis—siapapun bebas mendirikan partainya. Maka tak heran bila jumlah partai politik menjadi begitu banyak. Akibatnya, demokrasi menjadi tidak efektif karena banyak waktu dan energi (dan uang) terbuang untuk melakukan lobi-lobi politik. Kebijakan yang sudah ditetapkan juga akan sulit dijalankan karena banyaknya kepentingan yang beragam. Hal ini tidak akan kita jumpai seandainya jumlah partai politik tidak sebanyak sekarang ini.
Jaman sekarang kita hidup di era informasi. Tantangan yang dihadapi bukan lagi mengumpulkan informasi, melainkan memilah informasi. Makin banyak informasi yang kita dapatkan justru membuat kita bingung. Makin banyak informasi berarti makin banyak noise dan distraction. Makin banyak informasi juga membuat kita makin tidak fokus. Jadi, pilihlah informasi yang hendak Anda terima—entah itu dalam bentuk berita, siaran televisi, radio, suratkabar, blog, sampai Twitter.
So, do you want to be happy? Limit your options!