Mengembalikan Identitas Bangsa

Sejak pasar bebas ASEAN digulirkan, timbul kekhawatiran akan masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia yang membawa nilai-nilai yang belum tentu sesuai dengan apa yang kita punya. Dari dalam negeri, kekhawatiran muncul akibat degradasi karakter dan sikap mental masyarakat kita yang dinilai tak lagi mencerminkan nilai-nilai kebangsaan. Belakangan, teknologi dituding memengaruhi interaksi dan dinamika kebangsaan kita. Ketiga hal tersebut sering diangkat sebagai faktor penting yang mengancam identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Bicara identitas, biasanya kita berbicara tentang atribut fisik seperti postur tubuh, tinggi badan, warna kulit, hingga ciri atau bekas luka yang spesifik yang dimiliki oleh seseorang (physical theory). Anda diidentifikasi sebagai Anda karena memiliki kombinasi dari karakter-karakter seperti tersebut di atas yang unik. Ketika terjadi perubahan signifikan pada satu atau beberapa karakter tersebut di atas, maka Anda tidak bisa lagi diidentifikasikan sebagai Anda.

Sebagian peneliti mengkritik teori fisik dan mengusulkan alternatif teori yang lebih bersifat nonfisik (memory theory). Identitas nonfisik dapat berupa ingatan, pikiran, pengalaman, hingga perasaan yang melekat dalam diri seseorang. Akumulasi dari komponen tersebutlah yang membentuk identitas seseorang. Seandainya Anda dapat mengkopi segala ingatan, pengalaman, perasaan yang Anda miliki ke tubuh orang lain, maka tubuh yang baru tersebut diidentifikasikan sebagai Anda. Continue reading

Teknologi Digital dan Panggung Politik

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi resmi berlaku sejak Senin (28/11/2016). Inisiatif ini perlu diapresiasi dan didukung oleh semua pihak karena teknologi digital memiliki dampak dan implikasi yang luas. Maka menjadi sebuah keniscayaan untuk meregulasi teknologi digital agar penggunaan dan pemanfaatannya tetap berada dalam koridor yang benar.

Di bidang politik, dampak dan implikasi teknologi digital bisa sangat luas dan kompleks. Dari sisi panggung politik, kita harus memaklumi bahwa panggung politik sejatinya adalah panggung teatrikal. Setiap karakter selalu berusaha menjaga dan memelihara citranya, terutama di mata publik. Mulai dari gaya berbusana, cara berbicara, penggunaan dan pemilihan kata, semuanya disusun dengan estetika yang termanifestasi dalam penampilan di atas panggung.

Filsuf Jerman, Hannah Arendt, mengatakan bahwa “the realm of appearances is the realm of politics.” Kita tidak akan bisa benar-benar menelanjangi para politisi karena sejatinya apa yang ada di dalam dan apa yang dikenakan di luar adalah sama. Gagasan tentang penampilan adalah gagasan tentang realita yang terlihat dan terdengar oleh orang lain, termasuk kita. Continue reading

Ekonomika Pernikahan dan Ketidaksetaraan

Zaman dahulu lazim kita jumpai seorang bangsawan menikahi rakyat jelatanya, seorang wiraswasta menikahi karyawannya, seorang mandor pabrik menikahi buruhnya, seorang manajer menikahi sekretarisnya, atau seorang guru/dosen menikahi murid/mahasiswanya. Dalam konteks ini, masyarakat secara umum diuntungkan karena pihak yang dinikahi akan naik status dan kelas sosialnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial dan ekonomi yang terjadi akibat pernikahan antar kelas tersebut akan membawa pengaruh positif dalam masyarakat.

Gary Becker, ekonom dan sosiolog dari Universitas Chicago peraih Nobel Ekonomi tahun 1992, berpendapat bahwa keputusan seseorang untuk menikah umumnya bersifat sukarela (voluntary), sehingga teori preferensi dapat diterapkan di sini. Menurut teori preferensi, seseorang menikah dengan harapan tingkat utilitasnya akan naik daripada ketika ia masih gadis atau bujangan. Oleh karenanya, setiap orang akan bersaing untuk mendapatkan pasangan yang dirasa kelak akan memberikannya pertambahan utilitas tertinggi.

Pasar perjodohan ini, menurut Becker, adalah pasar yang efisien karena setiap pelaku pasar sama-sama berusaha ingin meningkatkan kesejahteraannya (optimal sorting). Akibatnya, pasar tidak hanya berusaha untuk mendorong peningkatan utilitas antara sebelum menikah versus setelah menikah, melainkan peningkatan utilitas di seluruh pernikahan yang terjadi (gains from marriage) agar menguntungkan semua pelaku pasar (masyarakat). Continue reading

Efek Samping Revolusi Informasi

Dalam dunia politik dikenal istilah “demagog“, yaitu mereka yang selalu memiliki posisi kuat dalam kancah perpolitikan. Mereka tidak memiliki dasar fakta dan ilmu pengetahuan yang kredibel, namun mereka mampu menarik massa dengan menawarkan rasa prasangka dan ketidakpedulian yang tak jarang dikemas dalam bentuk ancaman atau teori konspirasi. Celakanya, di era informasi seperti sekarang ini, mereka memiliki potensi kekuatan yang lebih besar lagi. Akibatnya, garis batas antara para ahli cendekiawan (expert) dan para perusuh (demagog) menjadi sulit dibedakan.

Era informasi memungkinkan kita memroduksi informasi jauh lebih besar. Apa yang kita hasilkan sejak tahun 2000an telah melampaui apa yang dihasilkan oleh sejarah peradaban manusia sejak zaman Nabi Adam hingga tahun 2000an. Padahal, otak kita tidak didesain untuk mengolah beragam informasi dan melakukan berbagai pekerjaan secara simultan (multitasking). Yang bisa kita lakukan hanyalah berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain secara cepat. Perpindahan tersebut, sayangnya, mendorong naiknya produksi kortisol (hormon pemicu stres) dan adrenalin yang pada akhirnya memberi stimulus berlebih pada otak kita. Continue reading

Manajemen Strategik ala Britania Raya

Sebagai negara maju berukuran cukup sedang, prestasi tim Inggris di Olimpiade sebenarnya boleh dibilang agak payah. Dibandingkan negara-negara adidaya lainnya maupun negara tetangganya di Eropa, prestasi Britania Raya tak terlalu membanggakan. Bila pada Olimpiade London 1908 mereka bisa meraih 56 medali emas, sesudahnya kecenderungan selalu menurun. Ketika bertanding di negeri sendiri pada tahun 1948, mereka bahkan cuma mendapatkan 3 emas.

Puncaknya terjadi pada Olimpiade Atlanta di tahun 1996. Britania Raya hanya bisa menggondol satu medali emas melalui Steve Redgrave dan Matthew Pinsent dari cabang dayung (rowing). Perolehan itu membuat Britania Raya jatuh di posisi 36 pada total perhitungan medali. Ini adalah titik nadir bangsa Inggris di ajang olimpiade modern.

Bandingkan dengan Olimpiade Rio yang baru saja selesai. Britania Raya bertanding 366 kali pada 25 cabang olahraga yang berbeda. Mereka mendapatkan 27 medali emas, 23 medali perak, dan 17 medali perunggu. Total perolehan yang mereka bawa pulang adalah 67 medali. Torehan ini membuat Britania Raya duduk di peringkat kedua dari seluruh negara yang bertanding di Olimpiade Rio. Continue reading