Birdie, Birdie, Triple Bogey

Sports go in and out of fashion. Begitulah kata mereka.

Di tahun 1980an misalnya, hiking dan camping begitu populer. Berikutnya demam bulutangkis dari All-England membuat siapapun punya raket di rumahnya. Wajar, Indonesia di dekade 1990an ditakuti seluruh dunia. Tren berlanjut ke tenis lapangan seiring prestasi Yayuk Basuki menundukkan Martina Hingis. Wynne Prakusya dan Angelique Widjaja berusaha mencoba meneruskan kesuksesan Yayuk Basuki.

Pada periode yang hampir sama, Michael Jordan kembali dari “pensiun dini” dari basket dan baseball, lalu berlatih intensif bersama Chicago Bulls. Selain memperoleh gelar most valuable player (MVP), tahun 1998 juga menjadi final NBA dengan rating televisi tertinggi. Semua orang ingin menjadi Michael Jordan. “I want to be like Mike” menjadi slogan salah satu iklan yang paling terkenal di masa itu. Semua orang ingin punya sepatu Air Jordan. Sampai ke Indonesia, semua anak muda bermimpi bisa bermain basket di Kobatama. Continue reading

Statistika Kehidupan Manusia

Berapa sih sebenarnya probabilitas saya lahir di muka bumi ini?

Ini mungkin pertanyaan bodoh, tapi menarik untuk diteliti.

Mari kita mulai dengan probabilitas bertemunya Bapak dan Ibu saya. Seandainya masing-masing bertemu dengan lawan jenisnya setiap hari pada usia 15 sampai 40 tahun, maka mereka akan bertemu dengan setidaknya 10.000 lawan jenis. Anggaplah mereka bisa bertemu dengan siapapun di muka bumi ini, tidak hanya orang-orang di Jogja atau Jakarta, Indonesia, atau di Asia Tenggara saja.

Tapi mengalikan dengan seluruh penduduk bumi tentu terlalu ambisius. Jadi ambil sampel saja 10 persen dari total penduduk bumi pada saat saya lahir. Jumlah total penduduk bumi saat itu adalah sekitar 5 miliar. Anggaplah komposisi laki-laki dan perempuan adalah sama. Jadi total jumlah lawan jenis potensial untuk bertemu adalah 250 juta orang. Maka probabilitas Bapak dan Ibu akan bertemu adalah 10.000 : 250.000.000 atau sama dengan 1 : 25.000. Continue reading

Bahayanya Media Sosial

Di dunia nyata, orang-orang pada umumnya cenderung enggan untuk membagi apa yang mereka miliki—uang, ilmu pengetahuan, pengalaman, misalnya. Tapi di media sosial, hal sebaliknya justru terjadi. Orang-orang berlomba untuk berbagi informasi, menyebarkan berita, mengunggah foto, atau memasang tautan ke situs-situs lain. Sadar atau tidak, saya, Anda, kita semua, mungkin sama-sama “terjebak” dalam perilaku tersebut.

Fenomena begini barangkali wajar saja terjadi. Di satu sisi, media sosial menyediakan platform bagi seseorang untuk menjadi “mini-celebrity” atau menyandang status “superstar.” Di sisi lain, persebaran smartphone, tablet, netbook, dan laptop serta ditunjang dengan makin murahnya akses internet, membuat siapapun bisa menjadi PR Manager bagi dirinya sendiri. Continue reading

Risiko, Ketidakpastian, dan Perilaku

Jauh ketika Perang Kemerdekaan di negeri ini masih berkecamuk, Charles Mackay menulis buku berjudul Extraordinary Popular Delusions and The Madness of Crowds. Buku itu ditulis tahun 1841 dan mengulas tentang kegilaan manusia kala itu akan hal-hal gaib, tentang sihir dan ahli nujum, serta tentang gelembung (bubble) ekonomi. Buku Charles Mackay masih dicetak dan menjadi referensi hingga kini karena mengulas kegilaan manusia terhadap hal-hal yang bisa memicu pertumbuhan ekonomi yang semu, seperti misalnya South Sea Bubble (1720), Mississipi Bubble (1719), dan Tulip Mania di Belanda (1637).

Charles Mackay menulis buku itu jauh sebelum konsep “ekonomi” dijelaskan secara matang seperti ilmu ekonomi yang kita kenal sekarang ini. Akan tetapi, ulasannya tentang risiko, ketidakpastian, dan perilaku ekonomi masih relevan. Sayangnya, meski ilmu ekonomi modern telah berkembang pesat, mengapa kejadian semacam itu terus berulang? Di Indonesia saja, berulang kali terjadi pecahnya gelembung ekonomi semu seperti demam anthurium, ikan lohan, sampai harga properti yang bisa naik hingga luar biasa mahalnya. Termasuk juga beragam skema money game, ponzi scheme, dan arisan berantai yang seakan-akan mati satu tumbuh seribu. Continue reading

Lupakan Resolusi Tahun Baru

Tak usah repot-repot membuat resolusi tahun baru. Hampir pasti Anda akan melewatkannya, menjadikan resolusi yang susah payah Anda buat dengan penuh semangat menjadi sekadar daftar panjang yang sia-sia.

Sejak jaman Adam Smith (1723-1790) dan Jeremy Bentham (1748-1832), ekonom mainstream telah melihat konsumen sebagai pengambil keputusan yang rasional didorong oleh pengejaran tanpa henti akan kepentingan pribadinya. Namun pandangan tradisional ini telah dipatahkan oleh sejumlah bukti empiris dari para behavioural economist yang menemukan adanya anomali dalam perilaku manusia. Berbagai riset menunjukkan bahwa manusia ternyata tidak rasional seperti halnya konsep homo economicus yang diajukan oleh ekonom mainstream.

Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan antara hadiah Rp 1 juta hari ini atau hadiah Rp 1,1 juta besok, misalnya, sebagian besar orang akan memilih opsi pertama. Tapi, ketika dihadapkan pada pilihan hadiah Rp 1 juta 30 hari yang akan datang atau Rp 1,1 juta 31 hari yang akan datang, sebagian besar orang justru memilih opsi kedua. Kedua opsi tersebut sama-sama menawarkan tambahan Rp 100 ribu di keesokan harinya, namun perilaku tersebut menggambarkan inkonsistensi pilihan seseorang dalam kurun waktu tertentu yang tidak dapat dijelaskan oleh teori neoklasik. Continue reading